Bagus. Kopi bagus untukmu. Ada kafein di dalamnya. Kafein, kami di sini. Kafein menempatkan si pria di atas kuda si wanita dan si wanita ...

Kebahagiaan; Realita dan Ekspektasi

/
4 Comments
Bagus. Kopi bagus untukmu. Ada kafein di dalamnya. Kafein, kami di sini. Kafein menempatkan si pria di atas kuda si wanita dan si wanita dalam kubur si pria.
The Sun Also Rise, Ernest Hemingway


Suatu eksistensial misogini membuat saya teringat bahwasanya relasi sosial yang terjadi kerap kali melahirkan gerbong-gerbong yang timpang: sang penindas dan yang tertindas. Saya tidak sedang membahas ide-ide besar semacam kelas proletar melawan kelas borjuis. Tetapi relasi sosial yang sangat sehari-hari, dalam perkawanan serta hubungan asmara, sang penindas dan yang tertindas akan selalu muncul.

Seperti yang difatwakan Erich Fromm,

cinta bukanlah sesuatu yang alami melainkan membutuhkan disiplin, konsentrasi, kesabaran, iman dan pengendalian narsisme

Pengendalian narsisme. Huft. Mari sama-sama tertawakan bagian akhir fatwa Enrich tersebut. Untuk kaum-kaum sanguin yang sedang dimabuk cinta. Pengendalian narsisme ini nampaknya hal tersulit dalam ketahanan hatinya.

Pengendalian diri untuk tidak merasa bahwa status sang penindas tertujukan untuk kaum tertindas. Hah, kalembo ade untuk hati-hati yang tertindas hanya karena asumsi pribadi.

Bahkan terkadang saya berpikir, sisi masokis manusia ialah kebahagiaan tersendiri. Seperti gatal yang kita garuk pada pinggiran luka yang hampir sembuh. Dasar masokis!

Saya selalu memikirkan sebuah rumus: bahwa kebahagiaaan itu merupakan hasil dari realita yang dibagi dengan ekspektasi.

Kebahagiaan = Realita ÷ Ekspektasi

Artinya, cara untuk berbahagia adalah dengan mengubah realita agar sesuai ekspektasi, lebih bagus lagi melebihinya.

Atau, karena opsi pertama begitu sukar, yang termudah adalah dengan menurunkan ekspektasi, sesuatu yang lebih mudah, meski kadang tidak mudah untuk diubah.

Pun kalau kita sandingkan rumus tersebut dengan teori pembagian sederhana bahwa bilangan apapun apabila dibagi dengan nol hasilnya tak terdefinisi.

Coba bayangkan, apabila dalam keseharian kita, kita melakukan segala aktivitas dengan teori Zero Expectations; yaitu dengan tidak berekspektasi apapun, maka realita apapun yang terjadi tentunya kebahagiaan yang kita dapat tak terdefinisi.

Tetapi apabila ekspektasi kita terlalu buruk; negatif, dan realita yang ada sangat baik. Hasil kebahagiaannya pun negatif. Mbuhlah, kenapa saya jadi sok matematis begini.


You may also like

4 komentar:

  1. Apapun realitanya lalu kita bahagia maka jangan heran bukan ditambah tapi lebih dari dikalikan oleh Allah nikmat yg akan kita dapat. Mantap yundakuh 😚

    BalasHapus
    Balasan
    1. Subhanallah bener banget yund. Kalau kebahagiaannya kita buat infinity tentunya realita yang didapat juga infinity. 😍

      Hapus

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Halaman